Selasa, 27 Juli 2010

Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronis dengan Kelainan Jalan Napas Bawah

BAB I
PENDAHULUAN

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi kerena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.(1)

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Untuk memahami penyakit sinus, harus mempunyai sejumlah pengetahuan konsep patofisiologi dasar. Patofisiologi dasar penyakit sinus ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius. Baik fungsi silia terganggu atau lapisan lendir yang tidak berfungsi normal dan faktor-faktor pertahanan lokal hospes berkurang. Hal-hal yang terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus, sehingga bakteri di hidung dapat masuk melalui ostium dan berkembang biak di dalam sinus-sinus.(2)

Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.(2)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS SINUS DAN SINUSITIS

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

1. Anatomi

Sinus paranasal dibagi menjadi golongan anterior dan posterior. Golongan anterior terdiri dari sinus maksilaris, sinus etmoidalis anterior, sinus frontalis. Ostia dari sinus ini didapati dalam meatus medius. Pus dalam meatus medius mengalir ke vestibulum nasi. Sedangkan golongan posterior, terdiri dari sinus etmoidalis posterior, sinus sfenoidalis. Ostia dari sinus ini didapati dalam meatus superior. Pus dalam meatus superior mengalir ke dalam faring.(3)

Gambar 1. Anatomi sinus

a. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.(1)

Sinus maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya iala dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveeolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.(1)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase tergantung dari gerak silia, lagipula darinase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang dan alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.(1)

b. Sinus Frontal

Sinus frontal terletak di os frontal, mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.(1)

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.(1)

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen merupakan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.(1)

Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.(1)

c. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.(1)

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya sinus, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.(1)

Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.(1)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasn denga sinus sfenoid.(1)

d. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.(1)

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior dan pons.(1)

e. Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostia-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.(1)

f. Sistem Mukosiliar

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.(1)

2. Fisiologi

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.(1)

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain 1) Sebagai pengatur kondisi udara; 2) Sebagai penahan suhu; 3) Membantu keseimbangan kepala; 4) Membantu resonansi suara; 5) Peredam perubahan tekanan udara; 6) Membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung.(1)

B. DEFINISI

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.(2)

C. ETIOLOGI

Beberapa etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertropi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti sindroma Kartagener, dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.(2)

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosa dengan foto polos leher posisi lateral.(2)

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.(2)

D. PATOFISIOLOFI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.(2)

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh beberapa hari tanpa pengobatan.(2)

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik.(2)

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.(2)

E. KLASIFIKASI

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu.(2)

Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.(2)

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat. Pada sinusitis kronis adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.(2)

Menurut penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenza (20-40%), dan Moraxella Catarrhalis (4%). Pada anak, M. Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).(2)

Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong kearah bakteri negatif gram dan anaerob.(2)

F. TANDA DAN GEJALA

Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.(2)

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan cirri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.(2)

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.(2)

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.(2)

Hasil pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan di muka. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.(4)

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdarsarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.(2)

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid.(2)

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.(2)

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA, dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelaianan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.(2)

200px-Maxilar_sinusites

Gambar 2. Foto polos posisi waters

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.(2) CT scan diindikasikan untuk evaluasi sinusitis kronik yang tidak membaik dengan terapi, evaluasi preoperative, dan jika ada dugaan keganasan.(4) Namum karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.(2)

Pada pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.(2)

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.(2)

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bias dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.(2)

H. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi sinusitis adalah 1) Mempercepat penyembuhan; 2) Mencegah komplikasi; 3) Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.(2)

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golonga penisilin seperti amoksisiln. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat, atau jenis sefalosforin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.(2)

Pada sinusitis kronis diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.(2)

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.(2)

Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.(2) Pada anak pemberian antibiotik jangka lama, dekongestan sistemik atau topikal, serta imunoterapi yang tepat merupakan dasar pengobatan sinusitis kronik.(4)

Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.(4)

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FES) merupakan opersi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.(2) Prinsipnya membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan infeksi, sehingga mukosa sinus kembali normal.(4) Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.(2)

I. KOMPLIKASI

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.(2,4)

Kelainan orbita. Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.(2,4)

Kelaianan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ektradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.(2,4)

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa oteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.(2)

BAB III

HUBUNGAN SINUSITIS MAKSILARIS KRONIS DENGAN KELAINAN JALAN NAPAS BAWAH

Sinusitis aktif dapat memperberat asma bronkial.(5) Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.(2,4)

Sinusitis yang terjadi berulang-ulang dan tanpa pengobatan yang adekuat dapat menyebabkan terjadinya bronkitis yang di sebut sinobronkitis. Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru). Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita penyakit menahun misalnya penyakit paru-paru dan pada usia lanjut bronkitis bisa bersifat serius.(6) selain itu juga dapat menyebabkan kelaianan paru yang lain yaitu bronkiektasis.(2)

Sinusitis tampaknya meningkat pada penderita rinitis alergika. Rinitis alergika diduga melibatkan reaginik, basofil, sel mast, dan pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrin, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Peranan mekanisme alergi dalam perkembangan sinusitis masih belum jelas, tetapi ini diduga hal ini dapat memperberat asma bronkial.(5)

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau ireversibel. Bronkiektasis dapat karena infeksi dan obstruksi bronkus. Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai paru yang mengenai bronkus dan sifanya kronik.(7) Dalam hal ini sinusitis maksilaris yang kronis dapat menyebabkan infeksi sekunder terhadap bronkus akibat pus atau yang mengalir ke vestibulum nasi yang kemudian dapat masuk ke saluran napas dan dapat mengenai bronkus.

BAB IV

KESIMPULAN

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi kerena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu.

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis. Penyebab utamanya ialah selesma yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.

Sinus maksilaris adalah salah satu sinus paranasal bagian anterior, dimana ostia dari sinus ini terdapat dalam meatus medius. Pus dalam meatus medius mengalir ke vestibulum nasi, dimana pus juga dapat masuk ke saluran napas bawah seperti bronkus sehingga dapat menyebabkan infeksi sekunder pada bronkus sehingga terjadi bronkitis atau bronkiektasis.

Sinusitis tampaknya meningkat pada penderita rinitis alergika. Rinitis alergika diduga melibatkan reaginik, basofil, sel mast, dan pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrin, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Sehingga mekanisme alergi ini dapat mempengaruhi atau dapat memperberat asma bronkia yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta: FKUI; 2007. 2: 145-9.

2. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta: FKUI; 2007. 2: 150-4.

3. Rukmini S, Herawati S. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasalis. Dalam: Rukmini S, Herawati S, editor. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung dan Tenggorok. Edisi I. Jakarta: EGC; 2000. 1: 29.

4. Mansjoer A. Sinusitis Kronik. Dalam: Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi V. Jakarta: Media Aesculapius;2000. 5: 105-6.

5. Blumenthal MN. Kelainan Pada Pasien THT. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PH, editor. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: EGC; 1997. 3: 196.

6. http://en.wikipedia.org/wiki/bronkitis

7. Rahmatullah P. Bronkiektasis. Dalam: Sudoya AW, Setiyohadi B, Alwi I, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007. 2: 1035-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar